Pembangunan
Pertanian
A.
Pengertian
Mosher
(1966) dengan tegas menyatakan bahwa :
“Pertanian
adalah sejenis proses produksi yang khas, yang didasarkan atas proses
pertumbuhan tanaman dan atau hewan. Dalam kaitan ini, para petani mengatur dan
menggiatkan pertumbuhan tanaman dan hewan itu dalam suatu bentuk usahatani.Sehingga,
perbedaan dasar antara kehidupan tumbuhan liar dan binatang liar dengan
pertanian (usahatani) adalah pada kehadiran atau campur tangannya
(manusia) petani.
Pernyataan
Monher tersebut memberikan arahan kepada kita bahwa pertanian atau usahatani
merupakan suatu proses produksi yang melibatkan campur tangannya manusia
didalam perkembangan dan pertumbuhan tanaman dan atau hewan. Turutnya campur
tangan manusia tersebut, dapat berupa : tenaga kerja, pikiran, ketrampilan dan
juga modal serta peralatan yang digunakan di dalam pengusahaan dan
pemeliharaan tanaman dan atau hewan; baik dalam upaya mengembang-biakan dan
mengatur kadaan lingkungannya, maupun dalam hal yang berkaitan dengan pengolaan
usahatani dalam artian pengaturan imbangan antara biaya dan penerimaan dalam usaha
taninya. Selaras dengan pemikiran seperti itu, maka pembangunan pertanian dapat
diartikan sebagai :
“Upaya
sadar dn terencana yang dilakukan oleh m,anusia untuk memperbesar atau
menggiatkan turutnya campur tangan manusia di dalam proses pertumbuhan tanaman
dan atau hewan dengan tujuan untuk selalu dapat memperbaiki
kesejahteraan atau kualitas hidup (petani) pengelolanya.
Kata
“selalu”, di sini sangat ditekankan, karena perbaikan mutu atau kualitas hidup
yang diinginkan oleh petani tersebut tidaklah hanya untuk jangka waktu tertentu
yang terbatas, melainkan diharapkan untuk jangka waktu yang tidak terbatas.
Didalam
proses pembangunan pertanian, perbaikan kualitas hidup yang dicita-citakan itu
diupayakan melalui kegiatan peningkatan produktivitas usahatani, yakni melalui
semakin besarnya turut campur tangan manusia(petani) selama proses produksi
berlangsung. Dengan kata lain, pembangunan pertanian menuntut adanya perubahan
perilaku petani yang mutlak diperlukan dalam upaya peningkatan produktivitas
usahatani, dan peningkatan pendapatan demi pe rbaikan kualitas hidupnya sendiri
dan masyarakatnya.
Pembangunan
pertanian adalah salah satu subsistem pembanguanan ekonomi nasional dalam arti
yang lebih luas. Oleh sebab itu , upaya pembanguan pertanian tidak dapat
dilepaskan dari kegiatan pembanguna nasional bidang ekonomi. Artinya,
pembanguna sector-sektor lain diluar sector pertanian yang memiliki pautan (linkage)
, baik pautan kedepan dan pautan kebelakang , akan sangat diperlukan dan
sekaligus terus terpacu oleh semakin digiatkannya pembanguna pertanian. Hal ini
disebakan, karena pembangunan pembangunan pertanian memang memiliki pautan
kebelakang (backward linkage) dengnan kegiatan konstruksi, produksi,
distribusi and pemasaran input-input pertanian ; dan sebaliknya juga memiliki
pautan kedepan (Forward linkage) dengan beragam kegiatan
konstruksi, produksi, distribusi, perdagangan dan beragam jasa (termasuk
transportasi, telekomunikasi dan pariwisata ) yang diperlukan untuk mengola dan
memasarkan produksi pertanian.
Lebih
lanjut, pembangunan pertanian sebagai salah satu sub-sistem pembangunan
nasional, harus selalu memperhatikan dan senantiasa diupayakan untuk menunjang
pembangunan wilayah setempat. Oleh sebab itu, pembangunan pertanian sebagai
bagian dari pembangunan nasional harus memperhatikan potensi wilayah yang
seimbang, baik untuk kepentingan pembangunan sektor pertanian itu sendiri
maupun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan sektor-sektor yang lain yang
diperlukan dalam kerangka pembangunan wilayah secara keseluruhan. Dengan
demikian, telaahan tentang pengertian pembangunan pertanian tersebut mengandung
beberapa pokok pengertian yang mencakup :
(1)
Pembangunan pertanian adalah
pembangunan sektor pertanian atau pembangunan usahatani, yang selalu mengacu
kepada selalu tercapainya kenaikan produktivitas dan penerimaan
usahatani untuk jangka waktu yang tidak terbatas, secara berkelanjutan
(lestari)
(2)
Pembangunan pertanian memerlukan
turutnya campur-tangan manusia (tani). Karena itu, pembangunan pertanian tidak
berarti sudah dapat dikatakan berhasil jika telah tercapaipeningkatan
produktivitas; tetapi harus pula senantiasa memperhatiakan sampai seberapa jauh
peningkatan produktivitas tersebut telah terbukti mampu meningkatkan atau
memperbaiki mutu kehidupan (keluarga) petani dan masyarakatnya yang
melaksanakan pembangunan pertanian tersebut.
Dengan
kata lain, petani jangan sampai dikorbankan untuk tercapainya peningkatan
produktivitas usaha tani, melainkan dia atau mereka harus juga dapat ikut menikmati
penambahan penerimaan dan atau pendapatan dari pembangunan pertanian yang
diusahakannya, yang dapat memberikan perbaikan kedejahteraan atau mutu-hidup
keluarga dan masyarakatnya.
Peningkatan
produktivitas usahatani dan perbaikan mutu-hidup atau kesejahteraan petani yang
ingin dicapai melalui pembangunan pertanian tersebut tidak boleh banya
berlangsung untuk selang waktu yang terbatas, melainkan harus dijamin
keberlanjutannnya hinggga waktu yang tidak terbatas.
(3)
Pembangunan pertanian sebagai subsistem
pembangunan ekonomi nasional, harus selalu memperhatikan pautannnya(linkage)
dengan pembangunan ekonomi dalam arti yang seluas-luasnya. Artinya
pembungan pertanian harus mendukung dan terkait dengan pembangunan dengan
sektor-sektor lain yang memiliki pautan dengannya, baik pautan ke belakang
maupun pautan ke depan.
(4)
Pembangunan pertanian sebagai dari
upaya pembangunan wilayah seutuhnya, harus senantiasa memperhatikan potensi
wilayah yang bersangkutan, baik untuk kepentingan pembangunan pertanian itu
sendiri, maupun untuk kepentingan pembangunan wilayah secara keseluruhan.
B.
Unsur-Unsur Pembangunan Pertanian
Pada
bagian terdahulu telah dikemukakan, bahwa pembangunan pertanian merupakan suatu
proses yang melibatkan manusia (petani) di dalam produksi usahatani yang
memanfaatkan tanaman dan atau hewan. Karena itu, petani dan usahatanimerupakan
dua unsur utama yang harus senantiasa diperhatikan di dalam setiap upaya
pembangunan pertanian.
Petani
Sebagai Unsur Pembangunan Pertanian[1]
Di
dalam setiap proses pembangunan pertanian, kehadiran petani senantiasa memiliki
peran-ganda, baik sebagai: juru-tani, pengelola usahatani, dan sebagai
manusia yang merupakan anggota dari keluarga dan ( system-sosial)
masyarakatnya.
Petani
sebagai juru-tani, adalah
(sekelompok) manusia yang harus senantiasa mencurahkan tenaga, pikiran,
ketrampilannya di bidang teknik ber-usahatani sehingga mampu memanfaatkan
sumberdaya alam yang berupa: tanaman, hewan dan lingkungannya untuk
menghasilkan produkn yang diinginkan, baik untuk dikonsumsi sendiri (beserta
keluarganya) maupun dijual untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup
(keluarganya) demi perbaikan kesejahteraan atau mutu-kehidupannya.
Di
dalam kaitan ini, petani sebagai seorang juru-tani dituntut untuk selalu
membuka diri terhadap perubahan-perubahan inovasi, menerima, dan
memanfaatkannya bagi peningkatan produksi dan penerimaan usahataninya.Lebih
dari itu, dia harus senantiasa aktif meningkatkan pengetahuannya melalui
pencarian dan pemahaman inovasi baru, serta selalu berusaha untuk meningkatkan
ketrampilannya agar dapat menerapkan inovasi yang telah dipahaminya. Oleh sebab
itu, adanya segala upaya untuk menciptakan iklim bagi petani agar mereka:
a.
Dapat cepat mengetahui adanya perubahan-perubahan
inovasi yang digunakan,
b.
Memiliki kemampuan memanfaatkan
inovasi, dan
c.
Senantiasa siap dan mau memanfaatkan
inovasi tersebut, sangat diperlukan.
Berkaitan
dengan itu, kegiatan penyuluhan yang dimaksudkan untuk mengubah perilaku petani
melalui proses pendidikan harus terus-menerus diupyakan baik strategi,
pendekatan, metoda, frekuensi, maupun kualitasnya. Jika upya penyuluhan
ternyata dianggap terlalu lamban menunjukkan hasilnya, perubahan perilaku
petani dapat dilakukan melalui bujukan, janji pemberian hadiah, rangsangan, dan
bahkan )jika sangat diperlukan) melalui pemaksaan, sepanjang tidak mengarah
kepada semakin menambah penderitaan lahir dan kesengsaraan masyarakat (petani)
yang akan diubah perilakunya.
Petani
sebagai pengelola usahatani, yaitu orang yang memiliki fungsi untuk mengelola dalam
artian memadukan kombinasi beragam masukan (input) factor produksi secara
efektif dan efisien sehingga dapat selalu menaikkan produktivitas dan
penerimaan usahataninya.Untuk itu, petani sebagai pengelola usahatani harus
senantiasa memahami dan siap menerapkan hokum dan dalil-dalil ekonomi produksi
yang “rasionalitas ekonomi dan rasionalitas non-ekonomi” (Mubyarto,
1980).Di dalam pengeloaan usahataninya, bukan sebagai sesuatu yang harus dihindari,
tetapi justru harus selalu dikembangkan demi tercapainya tujuan pembangunan
pertanian dan pembangunan wilayah yang diharapkan.
petani
sebagai manusia, anggota keluarga dan ( system sosial)masyarakatnya, yaitu individu yang harus senantiasa
memperhatikan system nilai, norma dan kepercayaan yang ada dan dianut oleh
keluarga dan masyarakat di lingkungannya. Tentang hal ini, sering dikemukakan
oleh banyak kalangan, bahwa tradisi adalah salah satu faktor penghambat
pembagunan, khususnya beragam tradisi yang masih terus dilestarikan oleh
masyarakat pedesaan. Namun, banyak pengalaman menunjukkan bahwa tradisi yang
sering dinilai “tidak baik” itu terbukti memiliki nilai-nilai luhur yang sangat
positif dilihat dari dukungannya trhadap proses dan tujuan pembangunan. Masalah
sebenarnya adalah, bukannya tradisi itu yang selalu buruk, tetapi terletak pada
kurang atau tidak adanya kemauan dan ketidak mampuan kita untuk menggali
nilai-nilai positif dari setiap tradisi atau kebiasaan yang sekilas berkonotasi
kurang menguntungkan itu. Tradisi, bagaimanapun harus diakui sebagai
kristalisasi nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan pengalaman
empiric yang telah teruji oleh waktu melalui proses “trial and error” yang
dilakukan oleh masyarakat setempat.Karena itu, petani harus senantiasa didorang
untuk menggali nilai-nilai positif terhadap pembangunan yang terkandung dalam
setiap tradisi yang terus berkembang dan dilestarikan oleh masyarakatnya. Di
lain pihak, para penentu kebijakan dan penyuluh (chae agent) harus selalu siap
untuk melakukan kajian terhadap nilai-nilai tradisi yang dianggap telah dan
akan menghambat pembangunan, untuk kemudian berusaha menemukan dan
memasyarakatkan nilai-nilai tersebut untuk menumbuhkan, menggerakkan,
mengembangkan dan memelihara partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan
(pertanian).
Usahatani
sebagai proses produksi
Usahatani
sebagai proses produksi, yang dalam pembangunan pertanian diusahakan agar
selalu (terus-menerus) meningkat produktivitas dan pendapatannya. Dengan kata
lain, usahatani yang dilaksanakan oleh petani di dalam proses pembangunan
pertanian, adalah usahatani yang selalu tanggap dan siap melakukan
perubahan-perubahan, baik komoditi yang diusahakan , teknologi (termasuk
metode, peralatan dan sarana) yang diterapkan, permintaan konsumen serta
perbandingan factor-faktor produksi yang secara keseluruhan merupakan penentu
tingkat produktivitas dan besarnya penerimaan atau nilai-produk yang dihasilkan
harus senantiasa memper-hatikan beberapa hal sebagai berikut:
(1)
Ketersediaan, pemanfaatan, dan
pengelolaan sumberdaya alam
Berbeda
dengan proses produksi disektor industry yang relative selalu dapat dikuasai,
proes produksi usaha tani relatif lebih banyak yang tergantung pada sifat-sifat
genetis dan kondisi alam dan lingkungannya.
Sehubungan
dengan itu, setiap pengusaha usahatani dalam proses pembangunan pertanian perlu
untuk selalu mengembangkan :
a)
Keunggulan sumberdaya alam (natural
advantage) di lokalitas usaha-tani yang berasangkutan , baik mengenai
komoditi (tanaman dan atau hewan yang memiliki sifat-sifat paling menguntungkan
untuk diusahakan diwilayah tersebut), maupun keadaan lingkungan hidup
yang menyangkut : jenis tanah, tingkat kesuburan tanah, tinggi tempat, iklim,
kemiringan, tersedianya unsur hara, intensitas penyinaran matahari, keadaan
hujan (curah-hujan dan sebaran hari-hujan/tahun), serta keadaan pengairan dan
drainase.
b)
Keadaan kondisi jasd menggangugu
(hama dan atau penyakit tanaman/hewan) berikut luas, waktu dan intensitas
penyerangnya, maupun teknik pengendaliannya secara efisien sehinggatidak
menimbulkan kerugian ekonomis.
c)
Pengaturan pola bertanam yang
mencakup : komoditi yang diusahakan, pengaturan waktu bertanam, tata-tanam,
intensitas pertanaman, serta tehnik bertanam yang seharusnnya dilakukan.
d)
Pemeliharaan, pengolahan, dan
pelestarian kesuburan lahan yang diusahakan.
e)
Upaya perluasan lahan yang (masih)
mungkin dapat dilaksanakan melalui kegiatan reklamasi dan rehanilitas.
(2)
Keadaan ketenaga kerjaan yang
mencakup :
a)
Jumlah tenaga kerja yang diperlukan
b)
Kualifikasi tenaga-kerja yang
tersedia dan yang akan diperlukan, baik kualifikasi pengetahuan, ketrampilan,
maupun sikap (terutama kepribadian, etos-kerja, dan dedikasinya)
c)
Sumber (penyediaan)tenaga-kerja,
baik yang berasal dari anggota keluarga atau kerabat sendiri, di lokalitas
usaha-tani setempat, maupun yang berasal dari luar wilayah lokasi usaha tani
yang diusahakan.
d)
Macam tenaga kerja , baik manusia,
hewan, atau mesin/peralatan.
e)
Waktu dan tempat penggunaan atau
pemanfaatan tenaga-kerja yang diperlukan.
(3)
Ketewrsediaan modal
Modal
diperlukan untuk pembelian sarana produksi, pembayaran upah tenagakerja dan
pengadaan/pembelian alat/mesin pertanian, pembayaran pajak, iuran irigasi,
maupun kewajiban-kewajiban sosial (selamatan) yang lain. Ketersediaan modal,
dalam hal ini tidak hanya yang berkaitan dengan besar atau jumlah modal yangt
diperlukan, tetapi juga mencakup pula : sebaran waktu yang diperlukan, dan
sumber modal berikut persyaratan yang harus dipenuhi (seperti prosedur,
besarnya bunga, persyaratan pengembalian, agunan yang diperlukan, waktu
pembayaran, dll).
(4)
Perilaku konsumen
Perilaku konsumen berikut perubahan-perubahan yang
mempengaruhi besarnya produksi konsumsi produk yang akan diusahakan, meliputi :
a)
Ragam (macam, jenis, da nasal)
komoditi yang diminati.
b)
Jumlah dan sebaran volume kebutuhan
sepanjang tahun.
c)
Mutu produk, termasuk pengolahan,
kemasan, dan jasa layanan.
d)
Daya-beli dan kesediaan konsumen
untuk membeli (willingness to pay)
e)
Elastisitas permintaan, serta
pengaruh yang ditambulkan oleh tersediaanya barang subtitusi dan barang
komplementer.
(5)
Upaya peningkatan produktivitas
usahatani
Peningkatan
produktivitas usahatani melalui kegiatan-kegiatan intensifikasi (baik
menggunakan inovasi teknologi maupun inovasi sosial), ekstensifikasi, dan
diversifikasi.
(6)
Luas dan status penguasaan lahan
Usahatani
Ada
asumsi bahwa, semakin sempit luas usahatani, produktivitasnya akan semakin
meninhkat, karena tingkat intensifikasinya (baik penggunaan sarana produksi dan
perhatian petani terhadap usaha taninya) semakin meningkat. Tetapi, skala usaha
yang semakin sempit ternyata tidak dapat dijadikan jaminan semakin meningkatnya
intensifikasi dan produktivitas. Hal ini, disebabkan karena :
a)
Hubungan antara fungsi produksi
dengan produktivitas tidak bersifat linier, melainkan mengikuti hokum :
penambahan, hasil (fisik dan ekonomis) yang semakin berkurang (law of
diminishing (physical and economical) return). Artinya , semakin tinggi
tingkat penggunaan input yang diterapkan dalam usaha tani, penambahan produksi
semakin menurun, meskipun total produksi masih terus bertambah. Bahkan, setelah
melampaui titik maksimum, justru dengan penambahan input berakibat
menurunnya produksi total.
b)
Jika luas lahan semakin sempit,
upaya petani untuk melakukan intensifikasi justru semakin menurun. Bukan karena
produksi atau pendapatannya tidak bertambah, tetapi penambahan pendapatan yang
dapat diharapkan jauh lebih kecil disbanding jika dia bekerja diluar sector
usahatani.
Untuk
lebih menjelaskan phenomena-phenomena diatas, lebih lanjut Rudolf Sinaga (1986)
secara konseptual melukiskan tentang adanya hubungan negative antara besarnya
beaya/satuan output dengan besarnya skala usaha (Gambar16), khususnya pada
kegiatan-kegiatan pengadaan input (sarana produksi) dan kegiatan pada
sub-sistem output (pemungutan hasil produksi)
Selain
dipengaruhi luasnya skala usaha, tingkat intensifikasi, produktivitas, dan
pendapatan usahatani juga dipengaruhi pula oleh “status penguasaan lahan”
yang dikelolah oleh seorang petani. Tentang hal ini, banyak penelitian yang
telah mengungkapkan adanya hubungan signifikan antara status
pengusaan-lahan dengan tingkat intensifikasi, produktivitas, dan pendapatan
petani (Suratiyah, 1978; Djasmo, 1979; dan Mardikanto, 1982).
Berkaitan dengan hal ini dilaporkan
bahwa, petani penyewa merupakan penerap intensifikasi dan penerima
produktivitas/pendapatan yang tertinggi; disusul kemudian oleh petani pemilik
penggarap, dan kelompok petani penyakap merupakan petani yang paling rendah
tingkat intensifikasi, produktivitas, dan pendapatannya.
SUB-SISTEM
|
Hubungan
Biaya Per Satuan Out Put
Dan
luas skala Usaha
|
OUT
PUT
PROSES
USAHATANI
PENGADAAN
INPUT
|
Rp
|
Gambar
16. Hubungan Antara Biaya Per Satuan Output dan luasnya Skala Usaha (Sinaga,
1987)
Tingginya
tingkat intensifikasi yang dilakukan oleh penyewa, disebabkan karena mereka
umumnya lebih bersifat komersial dibanding petani pemilik-penggarap
maupun petani penyakap. Sebaiknya, penyakap merupakan golongan penerap
intensifikasi yang terendah, karena disamping terbatasnya modal, pengetahuan,
dan ketrampilan, umumnya mereka kurang bersemangat melakukan
intensifikasi.Kurangnya semangat penyakap untuk melakukan intensifikasi itu,
terutama disebabkan oleh ketidak adilan dalam system penyakapan yang umumnya
berlaku; yaitu, mereka umumnyaharus menanggung sendiri tambahan biaya
intensifikasi, sebaliknya, tambahan hasil/pendapatan yang diperoleh harus
dibagi dengan pemilik tanah.
(7)
Kemudahan Subsidi Harga Input dan
Jaminan Harga-produk
Untuk
merangsang petani melakukan pembanguna pertanian, pemerintah biasanya
memberikan kemudahan berupa subsidi (keringanan) harga input atau sarana
produksi yang meliputi : pupuk, pestisidah, benih, dll. Disamping itukarena
permintaan produk-produk pertanian umumnya bersifat inelastis, maka
pemerintah biasanya juga memberikan kemudahan berupa jaminan harga-dasar
(floor price). Kebijakan ini dimaksudkan agar petani terus terangsang
melakukan intensifikasi untuk meningkatkan produktivitasnya, tanpa adanya
kekhawatiran menghadapi kemerosotan harga produk yang dihasilkan.
Berkaitan
dengan kebijakan harga-dasar tersebut, pada Gambar 8 terlihat bahwa : dengan
tingkat harga dasar (PI), petani akan terus terangsang melakukan intensifikasi
sampai dengan tingkat produktivitas (S2), tanpa harus khawatir harganya akan
merosot sampai ke (P2) . Tetapi, didalam praktek, pelaksanaan kebijakan
tersebut justru hanya pedagang yang dapat menikmati keuntungan (Mardikanto,
1986).
Keadaan
seperti itu, seringkali terjadi jika lembaga yang seharusnya membeli produk
petani itu tidak mau atau tidak mampu menampung ledakan peroduksi petani yang
kemampuan tawar-menawarnya (bargaining position) lemah, akan tetap hanya
dapat menikmati harga keseimbangan (P2). Sementara itu, konsumen yang
seharusnya dapat menikmati harga murah (P2) pada kondisi ledakan produksi (S2).
Hal itu terjadi, karena :
a)
Lembaga yang seharusnya menampung
ledakan produksi petani tidak mampu bersaing dengan pedagang bebas.
b)
Lembaga yang seharusnya menampung
ledakan produksi petani justru berkolusi dengan pedagan bebas
Unsur-unsur
penunjang pembanguan pertanian
Disamping
kedua unsur pokok pembangunan pertanian yang terdiri atas :petani dan
usahatani tersebut diatas, untuk ,memperlancar proses pembangunan
pertanian, biasa diperlukan kegiatan-kegiatan penunjang pembangunan pertanian (agri
support activities). Kegiatan-kegiatan penunjang pembanhunan
pertanian tersebut, oleh almarhum Hadisapoetro (1972) dikelompokkan dalam
empat macam lembaga yang terdiri dari sejarah pembangunan pertanian di
Indonesia kemudian lebih dikenal dengan “ catur sarana unit desa”, yaitu
:
(1)
Penyuluhan pertanian lapangan(PPL), yang melaksanakan fungsi pengujian
loka (local vercication trials) dan penyuluhan
(2)
Lembaga kredit local yang di Indonesia diwujudkan dalam
bentuk pendirian Unit Desa BRI, yang harus melaksanakan pelayan kredit bagi
petani, baik secara individual maupun kelompok, dengan persyaratan yang mudah,
murah, tepat, cepat namun tetap aman.
(3)
Lembaga penyaluran saran produk atau kiosk-kiosk input(sarana
produksi)
(4)
Koperasi unit Desa yang terutama melaksanakan fungsinya
untuk mengola dan memasarkan produk petani, disamping menyediakan dan
menyalurkan sarana produksi (bersama –sama kiosk sarana produksi)
Keempat
unsur penunjang pembangunan pertanian tersebut, secara konseptual harus
benar-benar efektif melaksanakan fungsinya masing-masing sebagai lembaga
pelayanan di setiap lokalitas usahatani. Akan tetapi, didalam praktek, sering
terjadi kekurang berhasilannya, terutama karena aparat ditingkat lokalitas
usahatani tidak mampu atau tidak tidak mau menerjemahkan dan atau melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh “Pemerintah pusat” secara
efektif dan efisien.
C.
Persyaratan Pembangunan Pertanian
Milikan
dan hapgood (1972) menyampaikan bahwa sebelum melakukan pembangunan pertanian
diperlukan adanya beberapa kondisi awal yang disebutnya sebagai persyaratan
yang memungkinkan tejadinya pembangunan pertanian, yaitu :
(1)
Adanya kemauan pemimpin
lokal dan pemimpin nasional untuk melakukan pembangunan pertanian. Yang
dimaksud dengan kemauan disini, bukanlah sekedar pernyataan lisan yang
dikemukakan dalam berbagai kesempatan, tetapi sudah ada perencanaan yang jelas
tentang program dan rencana kegiatan pembangunan berikut tujuan-tujuan yang
hendak dicapai pada setiap tahapan pembangunan.
(2)
Adanya stabilitas politik dan
keamanan ditingkat nasional yang menjamin kontinyuitas pelaksanaan program
dan kegiatan pembangunan pertanian yang sudah direncanakan.
(3)
Adanya sekelompok tenaga lokal
yang memiliki kemampuan organisasi dan manajemen untuk melaksanakan
pembangunan pertanian.
(4)
Adanya sekelompok tenaga
lokal yang memeliki pendidikan pertanian, yang diharapkan mampu
melaksanakan kegiatan “kaderisasi” bagi tumbuhnya kelompok-kelompokkecil
yang melaksanakan penyuluhan pertanian disetiap lokalitas usaha –tani.
(5)
Adanya sumber modal di
dalam negeri maupun dari luar negeri yang akan membiayai program dan kegiatan
pembangunan pertanian.
(6)
Adanya (pasar permintaan )
yang sedang meluas bagi produk pertanian yang akan diusahakan, baik didalam
negeri maupun diluar negeri, untuk jangka waktu panjang.
Tanpa
adanya ke-enam kondisi awal seperti yang dikemukakan diatas, salah –satu saja
kondisi tersebut tidak dapat dipenuhi, pembangunan pertanian tidak mungkin
dapat berlangsung sebagaimana yang diharapkan.
D.
Syarat-syarat Pembangunan Pertanian
Jika
Milikan dan Hapgood (1973)mengemukakan beragam persyaratan Pembangunan
Pertanian, Mosher (1966) telah meletakkan beberapa syarat Pembangunan
Pertanianyang dibaginya dalam dua kelompok besr, yaitu 5 syarat Mutlak (essential)
dan 5 faktor pelancar (acceleratos), yaitu :
Lima
syarat mutlak itu terdiri :
(1)
Pemasaran bagi produk pertanian yang
dihasilkan, yang menjamin petani untuk diproduksi tanpa kekhawatiran akan
produknya yang tidak laku.
(2)
Teknologi yang selalu terus berubah
dan berkembang, yang
mendukung peningkatan produksi dan produktivitas serta perbaikan mutu
produk yang memberikan nilai-tambah terhadap produk yang dihasilkan.
(3)
Tersedianya sarana produksi di setiaplokalitsa usahatani,
yang memberikan jaminan bagi petani untuk dapat memanfaatkan paket teknologi
yang direkomendasikan.
(4)
Perangsang produksi bagi
petani, agar
mereka lebih bergairah dan merasa diperhatikan sebagai pelaku utama pembangunan
pertanian.
(5)
Tersedianya sarana pengangkutan yang memadai yang
menghubungkan setiap lokalitas usaha tani dengan pasar dan pusat-pusat layanan
(kredit, pusat penelitian/penguji, pusat informasi, dll)
Sedang
lima faktor pelancar yang dimaksud adalah :
(1)
Pendidikan pembangunan atau
penyuluhan , yang
memberikan kesempatan kepada petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian
untuk tahu, mau, dan mampu untuk memilih alternatif teknologi yang diyakini
dapat meningkat produktivitas, produksi dan pendapatan serta perbaikan
kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya
(2)
Kredit pertanian, yang membantu petani untuk dapat
memenuhi kebutuhan sarana produksi dan peralatan, serta dapat mencukupi biaya
hidup keluarganya sampai saatnya panen tiba.
(3)
Kegiatan bersama atau gotong royong antar petani, baik dalam penyediaan
sarana produksi, pelaksanaan budidaya tanaman atau hewan, maupun dalam
pelaksanaan panen, pengolahan dan pemasaran hasilnya.
(4)
Perbaikan dan perluasan dalam
pertanian, yang
sangat dibutuhkan sebagai sarana untuk peningkatan produktivitas dan produknya.
(5)
Perencanaan untuk pembanguna
pertanian, yang
memberikan dukungan serta menjamin keberlangsungan kegiatan pembangunan
pertanian.
Sejalan
dengan syarat-syarat Pembangunan Pertanian yang dikemukakannya, Mosher (1974),
dalam proses pembangunan pertanian tersebut harus diupayakan terciptanya struktur
pedesaan progresif yang didalamnya tersedia :
(1)
Pusat pasar, yang jauhnya sekitar 6
km, agar petani dapat pulang balik dalam sehari dari lokalitas usahataninya.
(2)
Lembaga keuangan /perkreditan
(3)
Pusat penelitian/pengujian lokal
(4)
Pusat penyuluhan pertanian, dan
(5)
Jalan desa yang menghubungkan petani
(lokalitas usahatani) dengan keempat pusat layanan tersebut.
Ke-empat
lembaga layanan bangunan tersebut, juga harus memiliki akses ke lembaga layanan
serupa di tingkat regional dan nasional (Mosher, 1981)